Artikel Belajar dan Bermanfaat

Saturday 12 August 2017

Hibah: Pengertian, Syarat Hibah, Rukun, Hukum & Manfaat

Pengertian Hibah secara bahasa atau etimologi adalah pemberian. Sedangkan pengertian hibah secara istilah atau terminologi adalah akad yang menjadi kepemilikan tanpa terdapat pengganti ketika masih hidup dan juga dapat dilakukan dengan sukarela. 

Adapun dari lengkapnya adalah memberikan kepemilikan terhadap barang yang di tasarufkan (dipergunakan) baik berupa harta yang jelas dan juga mengenai yang tidak jelas karena terdapat suatu halangan untuk mengetahuinya, berwujud, dan dapat diserahkan tanpa terdapat suatu adanya kewajiban, ketika masih hidup, dan tanpaadanya pengganti. Demikian hal tersebut dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan lafaz hibah atau tamlik. Adapun hal yang berlaku dalam Hibah adalah 
  • Harta dihibahkan berwujud
  • Diserahkan tanpa adanya kewajiban 
  • Memberi dan menerima hibah masih hidup 
  • Tanpa terdapat pengganti
  • Barang dihibahkan dikategorikan sebagai hibah berdasarkan adat dengan lafaz hibah atau tamlik (menjadi pemilik). 
Hibah adalah pemberian (Dari seseorang) dengan pengalihan hak milik atas hartanya yang jelas, yang ada semasa hidupnya, kepada orang lain. Jika di dalamnya disyaratkan terdapat pengganti yang jelas, maka ia disebut dengan jual beli. 

Ketahuilah, bahwasanya keluarnya harta dengan derma (pemberian) bisa berupa hibah, hadiah dan sedekah. Jika tujuannya adalah untuk mendapatkan pahala akhirat, maka disebut dengan sedekah. Jika dinamakan kasih sayang dan mempererat hubungan, maka itu hadiah. Sedangkan jika untuk orang yang diberi, dapat memanfaatkannya, maka dinamakan hibah. 

Itulah perbedaan hal di atas dimana kasih sayang dan mempererat hubungan adalah alasan yang disyariatkan untuk mendapatkan pahala di akhirat tersebut bukanlah tujuan pertama. Seseorang memberikan kepada orang tertentu. Sedangkan untuk sedekah tidak dikhususkan kepada orang tertentu. 

Namun, siapa pun orang fakir ia temui maka dapat memberikannya. Walaupun begitu, umumnya mempunyai kesamaan, yakni berupa derma (pemberian) murni, yang pelakunya tidak mengharapkan sesuatu darinya. 

Hibah adalah mendermakan harta saat sehat atau sedang sakit yang mana tidak mengkhawatirkan atau pun tidak sakit, tetapi mengakibatkan kematian. 

Pengertian Hibah berdasarkan Pasal 1666 dan Pasal 1667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) artinya adalah: 
"Pemberian oleh seseorang kepada orang lainnya, secara cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, atas barang yang bergerak maupun juga untuk barang yang tidak bergerak di saat pemberi hibah itu masih hidup". 

Syarat-Syarat Hibah

  1. Dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 1687 BW) untuk barang yang bergerak, dan juga dengan Akta PPAT (Pasal 37 ayat 1 PP No. 24 Tahun 1997) untuk tanah dan juga bangunan. 
  2. Merupakan pemberian yang secara cuma-cuma atau gratis atau tanpa bayaran. Oleh karena itu, diberikan secara gratis penerimaan hibah tidak menerima tambahan keuntungan dan karenanya seharunya hibah tidak dikenai pajak. Namun demikian, dalam UUP ditetapkan bahwa bebas dari PPh hanyalah untuk hibah dari orang tua ke anak dan dari anak ke orangtua. Jadi, kalau pemberian hibah dilakukan dengan cara antara saudara kandung, yang juga tetap dikenakan PPh misalnya jual beli biasa. 
  3. Diberikan saat pemberi hibah masih hidup. Pemberi hibah kemudian harus beritindak secara aktif dalam menyerahkan kepemilikannya terhadap suatu barang. Jika si pemberi hibah tersebut sudah meninggal dunia, bentuknya pun adalah hibah wasiat. 
  4. Pemberi hibah adalah orang yang pintar dalam bertindak berdasarkan hukum jadi, pemberi hibah bukan seseorang yang berada di bawah umur atau tidak dalam pengampunan. 
  5. Yang dapat dihibahkan adalah barang yang bergerak dan juga barang yang tidak bergerak. Barang bergerak, seperti saham, obligasi, deposito, dan juga hak atas pungutan sewa. Sedangkan barang tidak bergerak adalah tanah atau rumah, kapal beratnya lebih dari dua puluh ton, dan juga sebagainya. 
  6. Pemberian hibah hanyalah demi barang-barang yang telah ada. Misalnya: yeni beli dua mobil jaguar, dua ratus lembar saham di PT Adaro, serta berencana untuk membeli rumah di Pondok Indah. Kemudian Yenni berniat untuk menghibahkan dua mobil Jaguar tersebut kepada Ira dan juga Agi, dua ratus lembar saham kepada Putri, dan juga rumah baru akan dibeli kepada Nina. Berdasarkan hal tersebut, yang tidak dapat dibuatkan hibahnya adalah rumah di Pondok Indah karena kempemilikan atas rumah itu belum ada di tangan Yenni. 
  7. Penerimaan hibah sudah ada ( dalam hal ini lahir atau sudah dibenihkan di saat pemberian hibah itu berdasarkan Pasal 1679. Jadi, seseorang ingin hibahkan kepada anaknya, anak itu harus minimal sudah lahir atau berada dalam kandungan ibunya. Tidak boleh untuk anak yang belum tentu ada. 
  8. Pemberian hibah yang sifatnya final dan juga tidak dapat ditarik kembali (Pasal 1666 BW). 

Syarat-syarat bagi penghibah

a. Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah; dengan demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.

  • Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan
  • Penghibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (dewasa dan tidak kurang akal).
  • Penghibah tidak dipaksa untuk memnerikan hibah.
b. Syarat-syarat penerima hibah
Penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan dengan benar-benar ada ialah orang tersebut (penerima hibah) sudah lahir. Dan tidak dipersoalkan apakah dia anak-anak, kurang akal, dewasa. Dalam hal ini berarti setiap orang dapat menerima hibah, walau bagaimana pun kondisi fisik dan keadaan mentalnya. Dengan demikian memberi hibah kepada bayi yang masih ada dalam kandungan adalah tidak sah.
c. Syarat-syarat benda yang dihibahkan
  • Benda tersebut benar-benar ada;
  • Benda tersebut mempunyai nilai;
  • Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat dialihkan;
  • Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah.
Adapun mengenai ijab kabul yaitu adanya pernyataan, dalam hal ini dapat saja dalam bentuk lisan atau tulisan.

Menurut beberapa ahli hukum Islam bahwa ijab tersebut haruslah diikuti dengan kabul, misalnya : si penghibah berkata : "Aku hibahkan rumah ini kepadamu", lantas si penerima hibah menjawab : "Aku terima hibahmu".

Sedangkan Hanafi berpendapat ijab saja sudah cukup tanpa harus diikuti oleh kabul, dengan pernyataan lain hanya berbentuk pernyataan sepihak.

Adapun menyangkut pelaksanaan hibah menurut ketentuan syari'at Islam adalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
  • Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga penyerahan barang yang dihibahkan.
  • Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat penghibahan dilakukan.
  • Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan, terutama sekali oleh si pemberi hibah.
  • Penghibahan hendaknya dilaksanakan di hadapan beberapa orang saksi (hukumnya sunat), hal ini dimaksudkan untuk menghindari silang sengketa dibelakang hari.
Sedangkan syarat-syarat Hibah menurut ulama Hanabilah, terdapat 11 syarat hibah
  • Hibah dari harta yang boleh ditasarufkan 
  • Terpilih dan juga sungguh-sungguh
  • Harta yang diperjualbelikan
  • Orang yang sah memilikinya
  • Sah menerimanya
  • Diterima walinya, sebelum terdapat penerima cukup umur
  • Menyempurnakan pemberian 
  • Tidak disertai dengan syarat waktu
  • Pemberi telah dipandang mampu dalam tasharruf (merdeka, mukallaf, dan juga rasyid)
  • Mauhub dapat berupa harta yang terkhusus untuk dikeluarkan. 

Rukun-Rukun Hibah

Adapun aturan rukun hibah adalah sebagai berikut.. 
Wahib (pemberi) yakni orang yang mampu memberikan hibah
Mauhublahu (penerima) yakni orang yang menerima hibah
Muhib, yakni barang yang dihibahkan
Sigat (ijab dan qabul) yakni serah terimah antara wahib dan juga mauhublah. 

Menurut Para Ahli 

Selain pengertian hibah secara etimologi dan terminologi diatas, beberapa para ahli juga mengemukakan pendapatnya tentang definisi hibah. Pengertian hibah menurut para ahli dan hukum Indonesia adalah sebagai berikut:
  • Menurut Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz V bahwa pengertian hibah menurut istilah hukum islam adalah suatu akad yang menunjukkan pelimpahan kepemikikan terhadap suatu benda (kepada orang lain) dengan tanpa mendapatkan imbalan yang dilakukan sewaktu ia masih hidup. 
  • Menurut Prof. Nasrun Harun dalam Fiqih Muamalah, mengatakan bahwa pengertian hibah adalah pemberian yang dilakukan secara sukarela dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, tanpa mengharapkan balasan apapun. Firman Allah SWT dalam surat an-Nisaa Ayat 4, "Kemudian jika mereka kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu."
  • Dalam hal ini, rumusan KHI pasal 171 huruf (g), menyebutkan bahwa Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 
  • Menurut Asaf A. A. Fyzee, Pengertian Hibah ialah penyerahan langsung dan tidak bersyarat tanpa pemberian balasan. 
  • Kitab Durru’l, Muchtar memberikan definisi Hibah sebagai pemindahan hak atas harta milik itu sendiri oleh seseorang kepada orang lain tanpa pemberian balasan.

Hibah Orang Sakit Dan Hibah Seluruh Harta

Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

Sedangkan menyangkut penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, bahwa menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.

Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat bahwa : Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu wajib dibatasi tindakannya.

Hibah Orang Sakit Dan Hibah Seluruh Harta

Apabila seseorang menghibahkan hartanya sedangkan ia dalam keadaan sakit, yang mana sakitnya tersebut membawa kepada kematian, hukum hibahnya tersebut sama dengan hukum wasiatnya, maka apabila ada orang lain atau salah seorang ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya tersebut dipandang tidak sah.

Sedangkan menyangkut penghibahan seluruh harta, sebagaimana dikemukakan oleh Sayid Sabiq, bahwa menurut jumhur ulama seseorang dapat / boleh menghibahkan semua apa yang dimilikinya kepada orang lain.

Muhammad Ibnu Hasan (demikian juga sebagian pentahqiq mazhab Hanafi) berpendapat bahwa : Tidak sah menghibahkan semua harta, meskipun di dalam kebaikan. Mereka menganggap orang yang berbuat demikian itu sebagai orang yang dungu dan orang yang dungu wajib dibatasi tindakannya.

Penarikan Kembali Hibah

Penarikan kembali atas hibah adalah merupakan perbuatan yang diharamkan meskipun hibah itu terjadi antara dua orang yang bersaudara atau suami isteri. Adapun hibah yang boleh ditarik hanyalah hibah yang dilakukan atau diberikan orang tua kepada anak-anaknya.

Dasar hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An- Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-tarmidzi yang artinya berbunyi sebagai berikut :

"Dari Ibnu Abbas dan Ibnu 'Umar bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : "Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah, kemudian dia mengambil kembali pemberiannya, kecuali hibah itu dihibahkan dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk di dalamnya (menarik kembali pemberiannya), maka dia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu kenyang ia muntah, kemudian ia memakan muntah itu kembali.

Dasar Hukum Hibah Menurut Islam

Hukum hibah pada dasarnya adalah tetapnya barang yang juga dihibahkan bagi mauhublahu tanpa terdapat pengganti. Adapun sifat dari hukum hibah adalah ketetapan pemilikan pada mauhublahu. Hal tersebut disebabkan wahib telah menyerahkan kepadaa mauhublah. Oleh karena itu, barang tersebut menjadi milik mauhublah. 



Seseorang wahib tidak berhak mengambil kepemilikan tersebut. Hal demikian karena tidak layak bagi seorang wahib dalam mengambil kembali barang yang telah dihibahkan kepada mauhublahu (penerima). Hal demikian didasarkan oleh sabda Rasulullah saw, "Orang yang meminta kembali hibahnya misalnya orang mengembalikan muntahnya." 

Selain itu, terdapat juga dasar hukum hibah dalam surat an-Nisa ayat 4 dan hadist dari Abu Hurairah dan Abullah bin umar dan aisyah. 


Hikmah atau Manfaat dalam Amalan Hibah

Hibah disyari’atkan dalam Islam dengan galakan yang mendalam adalah untuk memaut hati kalangan masyarakat Islam itu sendiri sesama mereka dan memperdekatkan perasaan kejiwaan sesama manusia yang hidup dalam masyarakat Islam atau di luar masyarakat Islam. Keistimewaan hibah ini ialah ianya boleh dilakukan kepada orang yang bukan Islam sekali pun, bahkan kepada musuh-musuh yang membenci Islam apabila diketahui lembut hatinya apabila di’beri’kan sesuatu. Hibah ini merupakan salah satu aktiviti kemasyarakatan yang berkesan memupuk rasa hormat, kasih sayang, baik sangka, toleransi, ramah mesra dan kecaknaan dalam kehidupan sosial sesebuah negara. Secara ringkasnya, hikmah hibah ini boleh dirumuskan dalam perkara berikut (tanpa menghadkan kepada perkara di bawah) :
  • Melunakkan hati sesama manusia
  • Menghilangkan rasa segan dan malu sesama jiran, kawan, kenalan dan ahli masyarakat
  • Menghilangkan rasa dengki dan dendam sesama anggota masyarakat
  • Menimbulkan rasa hormat, kasih sayang, mesra dan tolak ansur sesama ahli setempat.Meningkatkan citarasa kecaknaan dan saling membantu dalam kehidupan
  • Memudahkan aktiviti saling menasihati dan pesan-memesan dengan kebenaran dan kesabaran
  • Menumbuhkan rasa penghargaan dan baik sangka sesama manusia
  • Mengelak perasaan khianat yang mungkin wujud sebelumnya
  • Meningkatkan semangat bersatu padu dan bekerjasama
  • Dapat membina jejambat perhubungan dengan pihak yang menerima hibah.
1. Firman Allah SWT (QS. Al-Baqarah : 177) yang artinya:
Bukanlah kebaikan itu engkau mengarahkan wajahmu menghadap timur dan barat. Akan tetapi kebaikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, para nabi, memberikan harta yang disukainya kepada kerabat dekatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang meminta-minta dan untuk membebaskan budak.

2. Firman Allah SWT QS Al-Baqarah : 261 :
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah[166] adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahu

Demikianlah informasi mengenai Hibah. Semoga informasi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita. Sekian dan terima kasih. Salam Berbagi Teman-Teman

Referensi Hibah 
Purnamasari, Irma Devita. 2011. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: kiat-kiat cerdas, mudah, dan bijak mengatasi masalah hukum pertanahan/karya Irma Devita Purnamasari. Cet.2. Bandung: Kaifa. Hlm: 58-64.  
Nurhidayanti, Anissa. 2008. Fiqih: untuk Kelas VII Madrasah Tsanawiyah. Cet 1. Bandung: Grafindo Media Pratama.hlm: 66-67. 
Amrin, Abdullah. Stratgi Pemasaran Asuransi Syariah. Jakarta: PT Grasiondo. hlm: 164. 

Fuad, Mahsun. 2015. Hukum Islam Indonesia: dari nalar partisipatoris hingga emansipatoris. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. Hlm:271

Hibah: Pengertian, Syarat Hibah, Rukun, Hukum & Manfaat Rating: 4.5 Diposkan Oleh: admin